Minggu, 18 November 2012

Tokoh Detektif

Ran Mouri adalah teman Shinichi Kudo sejak kecil. Ran dan Shinichi tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ran adalah anak seorang detektif terkenal, Kogoro Mouri, dan seorang pengacara handal, Eri Kisaki. Karena suatu sebab, membuat kedua orangtua Ran menjadi bertengkar hebat dan pada akhirnya memutuskan untuk pisah rumah. Sekarang Ran tinggal bersama ayahnya, Kogoro Mouri.
Ran ahli dalam karate, Ran adalah ketua klub karate di sekolahnya.  Walaupun jago karate, Ran takut terhadap hantu dan hewan tertentu. Ran juga adalah tipe perempuan yang mudah menangis. Hingga saat ini, Ran tidak tahu tengtang keberadaan Shinichi yang tiba-tiba menghilang. Namun, kecurigaan Ran mulai muncul terhadap Conan yang mampu memecahkan kasus seperti Shinichi.
Ran pernah hampir membongkar identitas asli Conan Edogawa.
Sekian sikilas info mengenai tokoh Ran Mouri...

Ingin tahu info mengenai tokoh detektif lainnya, jangan lupa seringlah kalian mengunjungi blog ini...
TERIMA KASIH ... ƪ(˚▽˚)ʃ
 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Misteri Tangis Bayi Tengah Malam


Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu semakin lama semakin keras. “Eh, bayi siapa, ya, yang menangis ditengah malam begini? Apa tidak diberi susu oleh ibunya?” guman Tono. Malam itu ia tidur di rumah kakeknya yang terletak di tepi hutan.

Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu semakin lama semakin menyayat. “Apa bayi itu sedang sakit? Tapi... suara bayi itu sepertinya dari sebelah timur rumah Kakek. Di sebelah sana, kan, tidak ada rumah...” pikir Tono lagi, mulai ketakutan. “Ja... jangan-jangan... itu... suara... hantuuu... hiii!” Tanpa pikir panjang lagi, Lala melompat dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar tidur kakeknya.

“Lo, lo... Kenapa kamu masuk ke kamar Kakek?” tanya Kakek heran, melihat Tono melompat ke samping tempat tidurnya. “Malam ini Tono mau tidur di sini. Tono, kan, masih kangen sama Kakek. Sudah lama tidak ketemu Kakek,” Tono memberi alasan.

Keesokan harinya, Tono menceritakan kejadian itu pada Anton. Ia sebaya dengan Tono, dan tinggal di sebalah rumah Kakek Tono. “Ton, tadi malam, apa kamu mendengar suara bayi?” selidik Tono. “Aku tidak dengar apa-apa. Tapi aku pernah diberi tahu oleh Mbok Nur, pembantuku. Katanya, di kampung ini memang sering terdengar suara bayi menangis. Menurut Mbok Nur, itu suara hantu bayi,” jawab Anton. “Hantu bayi itu mencari teman karena kesepian,” lanjut Anton. “Hantu bayi mencari teman? Teman seperti apa yang dicarinya?” tanya Tono mulai khawatir. “Yang dicari adalah anak yang bisa mendengar suaranya,” kata Anton lagi. Tono tercekat mendengarnya.

Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu kembali terdengar malam ini. Tono jadi teringat kata-kata Anton tadi siang. Tono semakin takut. Bukankah hantu bayi itu mencari teman? Dan yang dicarinya adalah anak yang bisa mendengar suaranya? Bulu kuduk Tono merinding. Sekali lagi ia berlari ke kamar tidur kakeknya. “ Aduh kangen lagi, ya, sama Kakek?” tanya Kakek ketika Tono melompat ke atas tempat tidurnya. Tanpa memperdulikan pertanyaan Kakeknya, Tono balik bertanya, “Apa Kakek mendengar suara sesuatu tadi?”

“Iya, Kakek mendengar suara seperti tangis bayi,” jawab Kakek. “Apakah itu suara hantu bayi yang menangis mencari teman?” tanya Tono lagi. “Lho, tahu dari mana?” kakek balik bertanya. “Ja... di... itu... be..nar, Kek?” tanya Tono, lalu memeluk kakeknya erat-erat karena ketakutan. “Apakah kamu ingin melihat hantu yang sedang menangis itu?” tanya Kakek lagi. “Enggak mau! Tono takut, kek!” Tono hampir menangis. Kakeknya tertawa geli, lalu menjelaskan. “Aduuuh, anak kota besar, kok, percaya pada cerita aneh-aneh begitu. Ton, yang kamu dengar tadi itu, bukan suara hantu. Tapi suara binatang yang tinggal di hutan belakang sana.”

Tono melepas pelukannya dan menatap wajah kakeknya. “Kakek enggak bohong, kan?” Kakek menggeleng sambil tersenyum. “Para orangtua di kampung ini, kadang memakai cara yang salah untuk membuat anak-anaknya cepat tidur. Mereka manakut-takuti anaknya agar tidak tidur larut malam, dibilang suara hantu bayi!” jelas Kakek. “Memangnya, binatang itu seperti apa, Kek? Mengapa dia menangis?” Tono jadi penasaran. “Binatang itu sejenis kucing. Makanannya buah-buahan. Penduduk kampung ini menyebutnya Luwak,” kata Kakek. “Tapi ada juga yang menyebutnya Rakun, yang sebetulnya berasal dari bahasa Inggris, R A C C O O N,” lanjut Kakek sambil mengeja kata raccoon.

“Lalu, kenapa si Luwak menangis, Kek?” Tono semakin penasaran. “Bulan ini, kan, musim buah kolang-kaling. Luwak biasanya makan buah kolang-kaling sampai perutnya penuh. Ia tidak tahu kalau buah ini akan mengembang setelah berada di dalam perut, karena terendam cairan. Akibatnya Luwak menangis karena perutnya sakit sekali,” Jelas Kakek. “Kalau begitu, Tono ingin melihat binatang itu, Kek,” kata Tono yang sudah tidak ketakutan lagi.

Kakek lalu mengambil lampu senter besar, dan mengajak Tono ke tepi hutan. Suara tangis bayi itu ternyata berasal dari pohon enau yang kolang-kalingnya sudah masak. Pahonnya tak jauh dari rumah Kakek, sehingga mereka tak perlu masuk jauh ke dalam hutan. “Nah... itu dia si Luwak yang sedang menangis,” kata Kakek sambil menyenter Luwak yang sedang menangis di atas pohon Enau.


“Ooo... jadi suara tangis binatang ini yang bikin aku ketakutan setengah mati,” kata Tono tersipu malu. “Ugh, padahal Kakek kira Tono benar-benar kangen sama Kakek,” celetuk Kakek, membuat Tono semakin malu.

Jumat, 19 Oktober 2012

Rahasia Diriku


   Semua bermula tanpa sengaja. Waktu itu aku sedang bermain petak umpet bersama teman-teman. Agar tidak ketahuan, aku bersembunyi di gudang, di loteng rumahku. Seperti dugaanku, temanku tidak berhasil menemukanku. Karena bosan menunggu, iseng-iseng aku melihat-lihat isi loteng. Selama ini nenek melarangku naik ke sini. Mumpung nenek pergi, aku memeriksa isi loteng. Ugh, banyak debu dan sarang laba-laba di sini. Di loteng ini ternyata penuh dengan benda tua, seperti sepeda tua kakek, dan boks bayiku. Juga ada sebuah peti kayu yang penuh dengan ukiran bunga. Karena penasaran, kubuka peti kayu yang tidak terkunci itu. Isinya membuatku tercengang. Ada baju balerina, sepatu balet biru muda, dan kotak musik !
   Karena iseng, kupakai baju indah dan sepatunya yang sewarna. Lalu kubuka kotak musiknya. Aku mencoba menari mengikuti irama musik itu. Tiba-tiba terdengar suara Nenek yang memanggilku. Segera kutinggalkan sepatu dan baju balet itu. Kututup kotak musiknya, lalu buru-buru turun. “Apa yang kamu lakukan di loteng?” tanya Nenek. “Awas, jangan bermain di loteng lagi! Kamu nakal, ya!” Nenek melotot tajam. Aku jadi ketakutan.
   Hari-hari selanjutnya, aku menjadi gelisah. Aku sangat menasaran. Siapa pemilik naju, sepatu balet, dan kotak musik itu? Kenapa Nenek menyimpannya?
   Suatu hari sepulang sekolah, aku singgah ke rumah Nenek Emma. Nenek Emma adalah teman karib nenekku. “Nek Emma, apakah Nenek tahu siapa kedua orangtuaku?” tanyaku. Nenek Emma menggeleng. “Nenek sama sekali tidak kenal orang tuamu. Sewaktu kakek dan nenekmu pindah ke sini, mereka hanya membawa seorang bayi perempuan cantik. Bayi itu adalah kamu, Kiara!” jelas Nenek Emma. Aku tertunduk lesu. Itu benar! Sejak kecil aku tidak mengenal ayah dan ibuku. Ketika Kakek masih hidup dulu, aku pernah bertanya padanya. Kata Kakek, orangtuaku sudah meninggal karena kecelakaan mobil. Anehnya, aku juga tidak tahu begaimana wajah orangtuaku. Tidak ada selembar fotopun di rumahku. Aku sungguh tidak mengerti.
   Ketika hari libur, aku bermain ke rumah Anne, teman sekolahku. Ia langsung mengajakku bermain di kamarnya. Waktu melewati ruang tamu, aku terpukau melihat banyak piala dan medali yang terpajang rapi di lemari kaca. “Dulu ibuku seorang ballerina. Ia mengikuti banyak kejuaraan. Tapi ibuku selalu mendapatkan juara dua. Juara satunya katanya selalu Katarina Wilson,” Anne menjelaskan. Katarina Wilson, gumamku. Nama yang mirip dengan namaku. Kiara Katarina. Aku tercenung.
   Sewaktu minum teh, Tante Melisa, ibu Anne memperlihatkan foto-foto lamanya. Banyak foto ketika Tante Melisa mengikuti kejuaraan balet. “Ini dia juara satunya, Katarina Wilson. Tante yang berada di tengah, juara dua!” Tante Melisa menunjuk salah satu fotonya. Aku memperhatikan foto itu. Ya, ampuun! Mataku seakan tidak percaya. Baju dan sepatu balet yang dipakai Katarina Wilson, sangat mirip dengan baju yang kutemukan di loteng rumah. Jangan-jangan.....
   Ketika akan pulang, hujan turun dengan lebatnya. Berkali-kali Nenek menelepon karena khawatir. Akhirnya Tante Melisa mengantarkanku pulang. “Hai! Sepertinya saya pernah melihat Ibu sebelumnya!” seru Tante Melisa ketika berkenalan dengan Nenek. “Ah, mungkin Ibu hanya melihat orang yang mirip saya!” sergah Nenek. Karena penasaran, esoknya, pulang sekolah aku ke rumah Anne lagi. “Apa betul Tante pernah melihat Nenek saya sebelumnya?” tanyaku. “Ya, Tante yakin sekali pernah melihatnya. Tapi di mana ya? Tante lupa.” Jawab Tante Melisa. “Tolong Tante ingat-ingat lagi! Apakah Tante bertemu nenekku di pasar, di rumah sakit, di sekolah...” aku terus bicara. Tapi Tante Melisa terus menggelengkan kepalanya. “Mungkin Tante bertemu Nenek di kejuaran balet?” tanyaku lagi. “Aha! Benar katamu, sayang!” seru Tante Melisa. “Nenekmu yang selalu mengantar Katarina Wilson.”
   Apa?! Aku kaget sekali. Jadi Katarina Wilson adalah ibuku? Tanpa ragu lagi, aku menceritakan semuanya pada Tante Melisa. Tante Melisa berjanji akan membantuku mencari orangtuaku. Tante Melisa menepati janjinya. Seminggu kemudian, ia meneleponku, “Tante berhasil mendapatkan alamat orangtuamu. Bahkan Tante sudah menghubungi mereka. Hari minggu mereka akan datang menemuimu.”
   Hari yang kutunggu tiba juga. Tepat jam sepuluh pagi, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahku. Dari balik jendele aku melihat seorang wanita cantik dan seorang pria tampan turun dari mobil itu. Hai, ada gadis cilik seusiaku. Apakah dia saudaraku? Nenek sangat terkejut saat membuka pintu. Nenek memeluk wanita dan pria itu. Lalu dengan penuh kasih sayang membelai gadis cilik itu. Lalu Nenek mempersilakan mereka masuk. Mereka mulai berbincang. Aku memasang telinga dengan tajam. Air mataku pun jatuh. Sungguh, aku kecewa sekali. Semuanya diluar degaanku. Mereka bukan orangtuaku dan gadis cilik itu bukan saudaraku.
   Yang sebenarnya, dulu Nenek adalah pengasuh Katarina Wilson. Ke mana-mana Nenek selalu menemaninya. Saat Nenek pensiun, Katarina Wilson memberikan baju dan sepatu balet beserta kotak musiknya sebagai kenang-kenangan pada Nenek. Lalu aku ini siapa?
   “Nenek menemukanmu di depan rumah dalam keadaan kedinginan. Akhirnya Kakek dan Nenek mengadopsmu. Kakek dan Nenek sangat menyayangimu. Sampai-sampai Nenek melarangmu bermain di loteng. Kamu kan, alergi debu. Nenek sedih sekali kalau kamu sakit!” begitulah cerita Nenek.
   Olala... kini semua jelaslah sudah. Namun aku tidak sedih lagi, karena tahu kalau nenek ternyata sangat menyayangiku.