Huu...
huuu... ooeee... ooeee...
Suara tangis
bayi itu semakin lama semakin keras. “Eh, bayi siapa, ya, yang menangis
ditengah malam begini? Apa tidak diberi susu oleh ibunya?” guman Tono. Malam itu
ia tidur di rumah kakeknya yang terletak di tepi hutan.
Huu...
huuu... ooeee... ooeee...
Suara tangis
bayi itu semakin lama semakin menyayat. “Apa bayi itu sedang sakit? Tapi...
suara bayi itu sepertinya dari sebelah timur rumah Kakek. Di sebelah sana, kan,
tidak ada rumah...” pikir Tono lagi, mulai ketakutan. “Ja... jangan-jangan... itu...
suara... hantuuu... hiii!” Tanpa pikir panjang lagi, Lala melompat dari tempat
tidurnya dan berlari menuju kamar tidur kakeknya.
“Lo,
lo... Kenapa kamu masuk ke kamar Kakek?” tanya Kakek heran, melihat Tono melompat
ke samping tempat tidurnya. “Malam ini Tono mau tidur di sini. Tono, kan, masih
kangen sama Kakek. Sudah lama tidak ketemu Kakek,” Tono memberi alasan.
Keesokan
harinya, Tono menceritakan kejadian itu pada Anton. Ia sebaya dengan Tono, dan
tinggal di sebalah rumah Kakek Tono. “Ton, tadi malam, apa kamu mendengar suara
bayi?” selidik Tono. “Aku tidak dengar apa-apa. Tapi aku pernah diberi tahu
oleh Mbok Nur, pembantuku. Katanya, di kampung ini memang sering terdengar
suara bayi menangis. Menurut Mbok Nur, itu suara hantu bayi,” jawab Anton. “Hantu
bayi itu mencari teman karena kesepian,” lanjut Anton. “Hantu bayi mencari
teman? Teman seperti apa yang dicarinya?” tanya Tono mulai khawatir. “Yang
dicari adalah anak yang bisa mendengar suaranya,” kata Anton lagi. Tono tercekat
mendengarnya.
Huu...
huuu... ooeee... ooeee...
Suara tangis
bayi itu kembali terdengar malam ini. Tono jadi teringat kata-kata Anton tadi
siang. Tono semakin takut. Bukankah hantu bayi itu mencari teman? Dan yang
dicarinya adalah anak yang bisa mendengar suaranya? Bulu kuduk Tono merinding. Sekali
lagi ia berlari ke kamar tidur kakeknya. “ Aduh kangen lagi, ya, sama Kakek?”
tanya Kakek ketika Tono melompat ke atas tempat tidurnya. Tanpa memperdulikan
pertanyaan Kakeknya, Tono balik bertanya, “Apa Kakek mendengar suara sesuatu
tadi?”
“Iya,
Kakek mendengar suara seperti tangis bayi,” jawab Kakek. “Apakah itu suara
hantu bayi yang menangis mencari teman?” tanya Tono lagi. “Lho, tahu dari mana?”
kakek balik bertanya. “Ja... di... itu... be..nar, Kek?” tanya Tono, lalu
memeluk kakeknya erat-erat karena ketakutan. “Apakah kamu ingin melihat hantu
yang sedang menangis itu?” tanya Kakek lagi. “Enggak mau! Tono takut, kek!” Tono hampir menangis. Kakeknya tertawa geli, lalu menjelaskan. “Aduuuh, anak
kota besar, kok, percaya pada cerita aneh-aneh begitu. Ton, yang kamu dengar
tadi itu, bukan suara hantu. Tapi suara binatang yang tinggal di hutan belakang
sana.”
Tono melepas
pelukannya dan menatap wajah kakeknya. “Kakek enggak bohong, kan?” Kakek
menggeleng sambil tersenyum. “Para orangtua di kampung ini, kadang memakai cara
yang salah untuk membuat anak-anaknya cepat tidur. Mereka manakut-takuti anaknya
agar tidak tidur larut malam, dibilang suara hantu bayi!” jelas Kakek. “Memangnya,
binatang itu seperti apa, Kek? Mengapa dia menangis?” Tono jadi penasaran. “Binatang
itu sejenis kucing. Makanannya buah-buahan. Penduduk kampung ini menyebutnya Luwak,”
kata Kakek. “Tapi ada juga yang menyebutnya Rakun, yang sebetulnya berasal dari
bahasa Inggris, R A C C O O N,” lanjut Kakek sambil mengeja kata raccoon.
“Lalu,
kenapa si Luwak menangis, Kek?” Tono semakin penasaran. “Bulan ini, kan, musim
buah kolang-kaling. Luwak biasanya makan buah kolang-kaling sampai perutnya
penuh. Ia tidak tahu kalau buah ini akan mengembang setelah berada di dalam
perut, karena terendam cairan. Akibatnya Luwak menangis karena perutnya sakit
sekali,” Jelas Kakek. “Kalau begitu, Tono ingin melihat binatang itu, Kek,”
kata Tono yang sudah tidak ketakutan lagi.
Kakek lalu
mengambil lampu senter besar, dan mengajak Tono ke tepi hutan. Suara tangis
bayi itu ternyata berasal dari pohon enau yang kolang-kalingnya sudah masak. Pahonnya
tak jauh dari rumah Kakek, sehingga mereka tak perlu masuk jauh ke dalam hutan.
“Nah... itu dia si Luwak yang sedang menangis,” kata Kakek sambil menyenter
Luwak yang sedang menangis di atas pohon Enau.
“Ooo...
jadi suara tangis binatang ini yang bikin aku ketakutan setengah mati,” kata Tono tersipu malu. “Ugh, padahal Kakek kira Tono benar-benar kangen sama Kakek,”
celetuk Kakek, membuat Tono semakin malu.