Minggu, 18 November 2012

Tokoh Detektif

Ran Mouri adalah teman Shinichi Kudo sejak kecil. Ran dan Shinichi tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Ran adalah anak seorang detektif terkenal, Kogoro Mouri, dan seorang pengacara handal, Eri Kisaki. Karena suatu sebab, membuat kedua orangtua Ran menjadi bertengkar hebat dan pada akhirnya memutuskan untuk pisah rumah. Sekarang Ran tinggal bersama ayahnya, Kogoro Mouri.
Ran ahli dalam karate, Ran adalah ketua klub karate di sekolahnya.  Walaupun jago karate, Ran takut terhadap hantu dan hewan tertentu. Ran juga adalah tipe perempuan yang mudah menangis. Hingga saat ini, Ran tidak tahu tengtang keberadaan Shinichi yang tiba-tiba menghilang. Namun, kecurigaan Ran mulai muncul terhadap Conan yang mampu memecahkan kasus seperti Shinichi.
Ran pernah hampir membongkar identitas asli Conan Edogawa.
Sekian sikilas info mengenai tokoh Ran Mouri...

Ingin tahu info mengenai tokoh detektif lainnya, jangan lupa seringlah kalian mengunjungi blog ini...
TERIMA KASIH ... ƪ(˚▽˚)ʃ
 

Sabtu, 20 Oktober 2012

Misteri Tangis Bayi Tengah Malam


Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu semakin lama semakin keras. “Eh, bayi siapa, ya, yang menangis ditengah malam begini? Apa tidak diberi susu oleh ibunya?” guman Tono. Malam itu ia tidur di rumah kakeknya yang terletak di tepi hutan.

Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu semakin lama semakin menyayat. “Apa bayi itu sedang sakit? Tapi... suara bayi itu sepertinya dari sebelah timur rumah Kakek. Di sebelah sana, kan, tidak ada rumah...” pikir Tono lagi, mulai ketakutan. “Ja... jangan-jangan... itu... suara... hantuuu... hiii!” Tanpa pikir panjang lagi, Lala melompat dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar tidur kakeknya.

“Lo, lo... Kenapa kamu masuk ke kamar Kakek?” tanya Kakek heran, melihat Tono melompat ke samping tempat tidurnya. “Malam ini Tono mau tidur di sini. Tono, kan, masih kangen sama Kakek. Sudah lama tidak ketemu Kakek,” Tono memberi alasan.

Keesokan harinya, Tono menceritakan kejadian itu pada Anton. Ia sebaya dengan Tono, dan tinggal di sebalah rumah Kakek Tono. “Ton, tadi malam, apa kamu mendengar suara bayi?” selidik Tono. “Aku tidak dengar apa-apa. Tapi aku pernah diberi tahu oleh Mbok Nur, pembantuku. Katanya, di kampung ini memang sering terdengar suara bayi menangis. Menurut Mbok Nur, itu suara hantu bayi,” jawab Anton. “Hantu bayi itu mencari teman karena kesepian,” lanjut Anton. “Hantu bayi mencari teman? Teman seperti apa yang dicarinya?” tanya Tono mulai khawatir. “Yang dicari adalah anak yang bisa mendengar suaranya,” kata Anton lagi. Tono tercekat mendengarnya.

Huu... huuu... ooeee... ooeee...

Suara tangis bayi itu kembali terdengar malam ini. Tono jadi teringat kata-kata Anton tadi siang. Tono semakin takut. Bukankah hantu bayi itu mencari teman? Dan yang dicarinya adalah anak yang bisa mendengar suaranya? Bulu kuduk Tono merinding. Sekali lagi ia berlari ke kamar tidur kakeknya. “ Aduh kangen lagi, ya, sama Kakek?” tanya Kakek ketika Tono melompat ke atas tempat tidurnya. Tanpa memperdulikan pertanyaan Kakeknya, Tono balik bertanya, “Apa Kakek mendengar suara sesuatu tadi?”

“Iya, Kakek mendengar suara seperti tangis bayi,” jawab Kakek. “Apakah itu suara hantu bayi yang menangis mencari teman?” tanya Tono lagi. “Lho, tahu dari mana?” kakek balik bertanya. “Ja... di... itu... be..nar, Kek?” tanya Tono, lalu memeluk kakeknya erat-erat karena ketakutan. “Apakah kamu ingin melihat hantu yang sedang menangis itu?” tanya Kakek lagi. “Enggak mau! Tono takut, kek!” Tono hampir menangis. Kakeknya tertawa geli, lalu menjelaskan. “Aduuuh, anak kota besar, kok, percaya pada cerita aneh-aneh begitu. Ton, yang kamu dengar tadi itu, bukan suara hantu. Tapi suara binatang yang tinggal di hutan belakang sana.”

Tono melepas pelukannya dan menatap wajah kakeknya. “Kakek enggak bohong, kan?” Kakek menggeleng sambil tersenyum. “Para orangtua di kampung ini, kadang memakai cara yang salah untuk membuat anak-anaknya cepat tidur. Mereka manakut-takuti anaknya agar tidak tidur larut malam, dibilang suara hantu bayi!” jelas Kakek. “Memangnya, binatang itu seperti apa, Kek? Mengapa dia menangis?” Tono jadi penasaran. “Binatang itu sejenis kucing. Makanannya buah-buahan. Penduduk kampung ini menyebutnya Luwak,” kata Kakek. “Tapi ada juga yang menyebutnya Rakun, yang sebetulnya berasal dari bahasa Inggris, R A C C O O N,” lanjut Kakek sambil mengeja kata raccoon.

“Lalu, kenapa si Luwak menangis, Kek?” Tono semakin penasaran. “Bulan ini, kan, musim buah kolang-kaling. Luwak biasanya makan buah kolang-kaling sampai perutnya penuh. Ia tidak tahu kalau buah ini akan mengembang setelah berada di dalam perut, karena terendam cairan. Akibatnya Luwak menangis karena perutnya sakit sekali,” Jelas Kakek. “Kalau begitu, Tono ingin melihat binatang itu, Kek,” kata Tono yang sudah tidak ketakutan lagi.

Kakek lalu mengambil lampu senter besar, dan mengajak Tono ke tepi hutan. Suara tangis bayi itu ternyata berasal dari pohon enau yang kolang-kalingnya sudah masak. Pahonnya tak jauh dari rumah Kakek, sehingga mereka tak perlu masuk jauh ke dalam hutan. “Nah... itu dia si Luwak yang sedang menangis,” kata Kakek sambil menyenter Luwak yang sedang menangis di atas pohon Enau.


“Ooo... jadi suara tangis binatang ini yang bikin aku ketakutan setengah mati,” kata Tono tersipu malu. “Ugh, padahal Kakek kira Tono benar-benar kangen sama Kakek,” celetuk Kakek, membuat Tono semakin malu.

Jumat, 19 Oktober 2012

Rahasia Diriku


   Semua bermula tanpa sengaja. Waktu itu aku sedang bermain petak umpet bersama teman-teman. Agar tidak ketahuan, aku bersembunyi di gudang, di loteng rumahku. Seperti dugaanku, temanku tidak berhasil menemukanku. Karena bosan menunggu, iseng-iseng aku melihat-lihat isi loteng. Selama ini nenek melarangku naik ke sini. Mumpung nenek pergi, aku memeriksa isi loteng. Ugh, banyak debu dan sarang laba-laba di sini. Di loteng ini ternyata penuh dengan benda tua, seperti sepeda tua kakek, dan boks bayiku. Juga ada sebuah peti kayu yang penuh dengan ukiran bunga. Karena penasaran, kubuka peti kayu yang tidak terkunci itu. Isinya membuatku tercengang. Ada baju balerina, sepatu balet biru muda, dan kotak musik !
   Karena iseng, kupakai baju indah dan sepatunya yang sewarna. Lalu kubuka kotak musiknya. Aku mencoba menari mengikuti irama musik itu. Tiba-tiba terdengar suara Nenek yang memanggilku. Segera kutinggalkan sepatu dan baju balet itu. Kututup kotak musiknya, lalu buru-buru turun. “Apa yang kamu lakukan di loteng?” tanya Nenek. “Awas, jangan bermain di loteng lagi! Kamu nakal, ya!” Nenek melotot tajam. Aku jadi ketakutan.
   Hari-hari selanjutnya, aku menjadi gelisah. Aku sangat menasaran. Siapa pemilik naju, sepatu balet, dan kotak musik itu? Kenapa Nenek menyimpannya?
   Suatu hari sepulang sekolah, aku singgah ke rumah Nenek Emma. Nenek Emma adalah teman karib nenekku. “Nek Emma, apakah Nenek tahu siapa kedua orangtuaku?” tanyaku. Nenek Emma menggeleng. “Nenek sama sekali tidak kenal orang tuamu. Sewaktu kakek dan nenekmu pindah ke sini, mereka hanya membawa seorang bayi perempuan cantik. Bayi itu adalah kamu, Kiara!” jelas Nenek Emma. Aku tertunduk lesu. Itu benar! Sejak kecil aku tidak mengenal ayah dan ibuku. Ketika Kakek masih hidup dulu, aku pernah bertanya padanya. Kata Kakek, orangtuaku sudah meninggal karena kecelakaan mobil. Anehnya, aku juga tidak tahu begaimana wajah orangtuaku. Tidak ada selembar fotopun di rumahku. Aku sungguh tidak mengerti.
   Ketika hari libur, aku bermain ke rumah Anne, teman sekolahku. Ia langsung mengajakku bermain di kamarnya. Waktu melewati ruang tamu, aku terpukau melihat banyak piala dan medali yang terpajang rapi di lemari kaca. “Dulu ibuku seorang ballerina. Ia mengikuti banyak kejuaraan. Tapi ibuku selalu mendapatkan juara dua. Juara satunya katanya selalu Katarina Wilson,” Anne menjelaskan. Katarina Wilson, gumamku. Nama yang mirip dengan namaku. Kiara Katarina. Aku tercenung.
   Sewaktu minum teh, Tante Melisa, ibu Anne memperlihatkan foto-foto lamanya. Banyak foto ketika Tante Melisa mengikuti kejuaraan balet. “Ini dia juara satunya, Katarina Wilson. Tante yang berada di tengah, juara dua!” Tante Melisa menunjuk salah satu fotonya. Aku memperhatikan foto itu. Ya, ampuun! Mataku seakan tidak percaya. Baju dan sepatu balet yang dipakai Katarina Wilson, sangat mirip dengan baju yang kutemukan di loteng rumah. Jangan-jangan.....
   Ketika akan pulang, hujan turun dengan lebatnya. Berkali-kali Nenek menelepon karena khawatir. Akhirnya Tante Melisa mengantarkanku pulang. “Hai! Sepertinya saya pernah melihat Ibu sebelumnya!” seru Tante Melisa ketika berkenalan dengan Nenek. “Ah, mungkin Ibu hanya melihat orang yang mirip saya!” sergah Nenek. Karena penasaran, esoknya, pulang sekolah aku ke rumah Anne lagi. “Apa betul Tante pernah melihat Nenek saya sebelumnya?” tanyaku. “Ya, Tante yakin sekali pernah melihatnya. Tapi di mana ya? Tante lupa.” Jawab Tante Melisa. “Tolong Tante ingat-ingat lagi! Apakah Tante bertemu nenekku di pasar, di rumah sakit, di sekolah...” aku terus bicara. Tapi Tante Melisa terus menggelengkan kepalanya. “Mungkin Tante bertemu Nenek di kejuaran balet?” tanyaku lagi. “Aha! Benar katamu, sayang!” seru Tante Melisa. “Nenekmu yang selalu mengantar Katarina Wilson.”
   Apa?! Aku kaget sekali. Jadi Katarina Wilson adalah ibuku? Tanpa ragu lagi, aku menceritakan semuanya pada Tante Melisa. Tante Melisa berjanji akan membantuku mencari orangtuaku. Tante Melisa menepati janjinya. Seminggu kemudian, ia meneleponku, “Tante berhasil mendapatkan alamat orangtuamu. Bahkan Tante sudah menghubungi mereka. Hari minggu mereka akan datang menemuimu.”
   Hari yang kutunggu tiba juga. Tepat jam sepuluh pagi, sebuah mobil mewah berhenti di depan rumahku. Dari balik jendele aku melihat seorang wanita cantik dan seorang pria tampan turun dari mobil itu. Hai, ada gadis cilik seusiaku. Apakah dia saudaraku? Nenek sangat terkejut saat membuka pintu. Nenek memeluk wanita dan pria itu. Lalu dengan penuh kasih sayang membelai gadis cilik itu. Lalu Nenek mempersilakan mereka masuk. Mereka mulai berbincang. Aku memasang telinga dengan tajam. Air mataku pun jatuh. Sungguh, aku kecewa sekali. Semuanya diluar degaanku. Mereka bukan orangtuaku dan gadis cilik itu bukan saudaraku.
   Yang sebenarnya, dulu Nenek adalah pengasuh Katarina Wilson. Ke mana-mana Nenek selalu menemaninya. Saat Nenek pensiun, Katarina Wilson memberikan baju dan sepatu balet beserta kotak musiknya sebagai kenang-kenangan pada Nenek. Lalu aku ini siapa?
   “Nenek menemukanmu di depan rumah dalam keadaan kedinginan. Akhirnya Kakek dan Nenek mengadopsmu. Kakek dan Nenek sangat menyayangimu. Sampai-sampai Nenek melarangmu bermain di loteng. Kamu kan, alergi debu. Nenek sedih sekali kalau kamu sakit!” begitulah cerita Nenek.
   Olala... kini semua jelaslah sudah. Namun aku tidak sedih lagi, karena tahu kalau nenek ternyata sangat menyayangiku.

Rabu, 17 Oktober 2012

Tokoh Detektif

      Conan Edogawa merupakan seorang detektif SMU yaitu Shinichi Kudo, yang tubuhnya mengecil akibat dari pengaruh obat yang berasal dari organisasi hitam. Cerita ini berawal pada saat Shinichi sedang pergi berdua bersama Ran (teman masa kecilnya) ke tempat hiburan malam. Shinichi melihat pria mencurigakan yang mengenakan pakaian berwarna hitam dan membawa koper hitam yang aneh. Shinichi mengikuti pria tersebut, ternyata Shinichi melihat transaksi ilegal. Tanpa sadar, seorang dari kawanan pria tersebut melihat Shinichi dan memukulnya dari belakang sehingga membuat Shinichi pingsan. Karena takut transaksi tersebut ketahuan, maka kawanan pria tersebut mencoba hasil temuan mereka berupa pil yang belum pernah dicoba kepada manusia. Seketika tubuh Shinichi menjadi panas dan lama-kelamaan mulai mengecil. Kemudian Shinichi menumui profesor sahabatnya, yaitu Profesor Agasa. karena takut akan identitas aslinya terbongkar, Shinichi pun mengubah namanya menjadi Conan Edogawa. 
Karena Shinichi yang tak kunjung kembali, Ran pun menjadi khawatir dan memutuskan untuk pergi ke rumah Shinichi. Namun yang dia temui bukan lah Shinichi, melainkan Conan. Akibat dari pertemuan tersebut, akhirnya Conan memutuskan untuk tinggal di rumah Ran bersama ayah Ran yang seorang mantan polisi dan sekarang bekerja menjadi detektif.


Sekian sikilas info mengenai tokoh Conan Edogawa...
Ingin tahu info mengenai tokoh detektif lainnya, jangan lupa seringlah kalian mengunjungi blog ini...
TERIMA KASIH ... ƪ(˚▽˚)ʃ

Minggu, 14 Oktober 2012

Misteri Mutiara Palsu


      Kali ini jamuaan makan malam diadakan di rumah Pak Dermawan, ayahku. Banyak orang penting yang hadir. Sejak pagi ibu sibuk melakukan persiapan. Tak lupa ibu mengeluarkan kalung mutiara warisan nenek dari brangkas. Kalung indah itu selalu ibu kenakan di hari istimewa. Para undangan lain juga tak mau kalah. Tante Sastro selalu mengenakan bros berliannya yang besar. Tante Ratna membanggakan cincin rubinya yang mahal.

Aku naik ke kamar Ibuku, untuk minta izin pergi ke rumah Peter. Namun kamar Ibu kosong. Gaun malamnya tergeletak rapi di tempat tidur. Kotak perhiasannya terbuka. Aku mengambil kalung mutiara kesayangan Ibu. Sangat anggun. Ada 45 butir mutiara seluruhnya. Tiba-tiba Doggie, anjing pudelku, menalak dan menyambar kalung itu. Astaga, untaiannya terlepas!

“Doggie!” Buru-buru aku rebut. Aku meronce kembali untaian kelung itu. Namun kurang satu butir! “Cepat, Doggie. Cari!” Doggie mengendus berkeliling. Sayang, tidak berhasil kami temukan. Tepat saat itu Ibu muncul. “Sedang apa?” tanya Ibu. “Ngg... , Bu, aku ke rumah Peter, ya?” ucapku gagap. “Hmmm, sebaiknya kamu menyapa para tamu dulu,” jawab Ibu sambil mengenakan kalungnya. Aku cepat-cepat keluar dari kamar. Semua tamu ku kenal, kecuali Pak Fidel. Katanya dia asisten Om Robin si Ahli Permata. “Kamu manis sekali, Anggi,” puji Pak Fidel ramah. Dia melirik jam dinding antik, hampir menunjukkan pukul delapan. Saat itu Ibu menghampiriku.

 “Apakah kalung Ibu asli ?” tanya Pak Fidel tiba-tiba. “Oh, saya rasa..... maksud Bapak....., mutiara ini?” jawab Ibu sedikit tersinggung. Ibu melepas kalungnya. Asisten Ahli Permata itu meneliti dengan cermat. Dong... Dong... ! Bunyi jam dinding antik menyentak delapan kali. Bu Sastro terlonjak, “Jam itu selalu bikin kita kaget.
“Saya rasa ini palsu,” guman Pak Fidel. Ia mengeluarkan alat dan menunjukkan pada Ibu. Tamu lain terperangah. Ibu tampak kaget dan malu. “Simpanlah,” bisik Ayah padaku, lalu mengajak para tamu untuk ke ruang makan. Aku termenung. Apakah selama ini Ibu tidak tahu? Enam bulan lalu, kalung Ibu dibersihkan di toko Om Robin. Jangan-jangan si Ahli Permata itu menukarnya. Aku duduk di samping Ayah. Makanan yang terhidang sangat lezat. Kasihan Ibu, ia tidak menikmatinya. Pak Fadel diapit Tante Mira dan Tante Ratna. Tante Mira memajukan tangan kanannya, “Apakah jambrut ibi asli?” tanya Tante Mira. “Mmh.....” Pak Fidel meraba cincin itu dan mengarahkannya ke cahaya, “Ya, saya yakin ini asli.” Tante Mira sangat lega. Pak Fidel melihat arloji. Aku memperhatikan. Kurasa dia sedikit gelisah. Akupun menatap arlojiku, hampir pukul sembilan. “Bukankah cincin anda baru-baru ini diperbaiki? Saya pernah melihatnya,” ujar Pak Fidel pada Tante Ratna. “Ya, di toko Pak Robin,” jawab Tante Ratna. “Rubi yang indah. Sayang sekali.....” Pak Fidel manatap, “Boleh saya lihat?” Tante Ratna melepas cincinnya. “Tiruan yang hebat!” ujar Pak Fidel. “Apa?” ujar Tante Ratna heran.

Dong... Dong...! Suara jam berdetang sembilan kali. Pak Fidel kaget sampai menjatuhkan cincin itu. Dia membungkuk mencari, “Ah, ini dia.” Diambilnya alat dari saku lalu mengetes ke batu rubi. “Lihat, ini palsu.” Ujar Pak Fidel. Tante Ratna menjerit, “Ini tidak mungkin. Pasti ditukar di toko itu.” Para tamu ribut. Semua berpikir Om Robin melakukan menipuan. Benarkah? Telah lima tahun Ibu menjadi pelanggan Om Robin yang jujur. Rasanya tidak mungkin bila ia merusak kepercayaan itu. Tanpa sadar aku mengitari butir-butir mutiara kalung Ibu dengan jariku sambil menghitung. Aku berhenti. Kuulangi lagi. Empat puluh lima butir! Tidak mungkin! Bukankah tadi hilang sebutir? Aku segera mengajak Doggie kembali ke kamar Ibu.

“Doggie, ayo cari.” Aku menyibak gorden, mencari di bawah keset kaki, karpet, kolonh lemari. Sebutir mutiara yang hilang adalah bukti penting untuk membela Om Robin. “Guk!” Doggie mengibaskan ekornya, kakinya mengais-ngais meja telepon. Banar, ada sebutir mutiara di sana. Aku menelepon Om Robin. Awalnya, Ayah menolak. Setelah kudesak dengan bukti-bukti, akhirnya Ayah meminta Pak Fidel mengeluarkan isi sakunya.

“Saya mencuri? Ini penghinaan, Pak Dermawan!” tolaknya dengan marah. Aku bercerita tentang sebutir mutiara Ibu yang kuhilangkan. Setelah dinyatakan palsu, jumlah mutiaranya malah menjadi empat puluh lima. Seharusnya hanya ada empat puluh empar. Artinya, Pak Fidel telah menukarnya. “Apa aku begitu bodoh menukarnya di depan banyak orang? Huh!” ujar Pak Fider. “Aku melihat Pak Fidel selalu melihat jam. Pada saat yang tepat untuk mengalihkan perhatiaan tamu adalah saat jam berdetak keras. Cincin Tante Ratna pun ditukar tepat jam sembilan,” kataku.

“Tuduhan hebat. Lalu jambrut Bu Mira kau pikir kucuri juga, hah!” tanya Pak Fidel. Aku menggeleng. “Tidak, itu asli. Pak Fidel tidak menukarnya karena tidak mempunyai tiruannya. Saya telah mendapat keterangan dari Om Robin yang sedang sakit. Pak Fidel memang asisten Om Robin selam enam bulan ini. Tapi tadi pagi anda telah dipecat. Selam enam bulan anda punya kesempatan untuk membuat tiruan perhiasan pelanggan. Saya rasa tiruan bros Tante Sastro juga telah anda siapkan...” uraiku penuh kemenangan.

Pak Fidel tidak berkutik sedikitpun saat benda-benda yang kusebutkan dijumpai di sakunya. Para tamu memuji aku dan Doggie. Herannya, sejak kejadian malam itu. Jamuan makan malam terlihat lebih sederhana, tanpa adanya perhiasan.

Sabtu, 13 Oktober 2012

Detektif Cilik


Erangan menyeramkan membangunkan Agus. Dengan mata terkantuk-kantuk, ia mencoba mencari sumber suara itu.

“Aaaarghh... tidak... pergi kau... !!” Agus kaget mendengar suara itu. Cepat-cepat ia menyalakan lampu kamar. Ternyata erangan yang menyeramkan itu berasal dari tempat tidur Deden. Rupanya Deden sedang bermimpi. Tempat tidur Deden terletak di sebelah tempat tidur Agus. “Hey, Den! Kalau mimpi jangan berisik, dong. Kakak tidak bisa tidur nih! Besok kakak harus bangun pagi.” Deden terbangun. “Kak, tadi aku mimpi diculik sekawanan perampok. Aku ketakutan.”

“Itu Cuma mimpi, Den. Makanya sebelum tidur, baca doa dulu. Biar mimpimu bagus. Sudah ah, Kakak mau tidur lagi.” Belum sempat Agus memejamkan mata, tiba-tiba ia dikagetkan kembali oleh suara-suara gaduh dari luar kamarnya. Agus mengintip ke luar jendela kamarnya. Ia melihat sekelebatan bayangan hitam. Namun saat ia melihatnya sekali lagi, bayangan itu sudah tidak ada. Ah, mungkin aku salah lihat. Pikirnya. Agus akhirnya tertidur kembali.
Keesokan paginya, saat sarapan, Agus menceritakan sekelebat bayangan yang mengganggu tidurnya semalam. “Mungkin hantu.....” jawab adiknya. “Sudah, sudah... mungkin itu hanya ranting pohon yang goyang tertiup angin. Ayo, lekas berangkat ke sekolah. Nanti Ayah terlambat masuk kantor,” timpal Ayah.

“Nanti malam aku akan menyelidikinya,” pikir Agus. Sepulang sekolah, Agus membeli kue kesukaannya di warung Bi Minah. Di warung itu, terdengar suara ribut ibu-ibu yang sedang mengobrol. Ternyata mereka sedang membicarakan rumah Bu Intan yang tadi malam kemalingan. Agus teringat, Bu Intan adalah tetangga barunya. Suaminya bernama Pak Radi. Rumah mereka hanya terhalang lima rumah. Tanpa lama-lama, Agus membayar kuenya dan pulang ke rumah. Setiba di rumah, Agus berteriak memanggil ibunya. “Bu, Ibu...! Rumah Bu Intan tadi malam kemalingan, ya ? Mungkin bayangan yang semalam aku liat itu, bayangan perampoknya, bu.”

“Menurut kabar yang Ibu dengar, iya, Gus. Tidak ada korban. Hanya beberapa perhiasan dan uang yang dirampok. Ini perampokan yang ketiga di kompleks kita.” Setelah selesai makan dan membuat PR, Agus pamit pada ibunya. Agus berniat menyelidiki perampokan di rumah Bu Intan. Setibanya di rumah Bu Intan, suasana terlihat sepi. Tiba-tiba, Agus mendengar dua orang sedang bercakap dengan suara pelan. Agus tidak bisa mengintip karena tempat mereka agak terhalang tembok.

“Rencana kita berhasil, Tan. Sekarang, tinggal rumah Bu Lilla sasaran kita berikutnya. Kita tetap masih harus berpura-pura sedih kalau kita sudah kemalingan.” Kata Pak Radi. “Siiip... orang-orang di kompleks ini mudah saja dibohongi.” Sahut Bu Intan.
Hah! Apakah itu suara Bu Intan dan Pak Radi ? Kok, mereka tidak terdengar seperti suami istri ? Seperti berbicara pada teman. Apa maksud mereka dengan “sekarang tinggal rumah Bu Lilla?” itu kan nama ibuku, rumahku. Apa jangan-jangan mereka..... Jantung Agus berdebar memikirkan dugaannya.

Malam pun tiba. Setelah semuanya tidur, Agus mengendap-endap ke luar kamarnya dan mengambil senter. Tidak lupa mebawa tape recorder untuk merekam, jika dugaannya benar. Setelah tiba di belakang rumah Bu Intan, Agus berhati-hati agar tidak mengeluarkan bunyi gaduh. Ternyata dugaan Agus benar.  Ada suara beberapa orang sedang berdiskusi. Agus tidak lupa merekam dengan tape recorder-nya. Mereka terdengan akan merampok rumah Bu Lilla. Setiba di rumanya kembali,  Agus segera membangunkan ibu dan bapaknya. Ia memberikan tape recorder-nya. Ayah menyakannya dan mendengarkan rekaman percakapan orang-orang itu.

“Dari mana kamu mendapatkan ini?” tanya Ayah. “Maaf, yah. Tadi Agus keluar rumah diam-diam. Soalnya kalau Agus bilanh, pasti tidak diizinkan. Maaf.” Jawab Agus. “Kalau begitu, kita harus cepat-cepat telepon polisi sebelum mereka datang. Tapi jangan ribut. Kita sergap mereka begitu masuk.”

Beberapa saat kemudian.....

Polisi datang tanpa menarik perhatian tetangga lain dan tanpa membunyikan sirine. Merka bersembunyi di balik gorden dan di balik semak-semak depan rumah. Sesaat kemudian, empat perampok bertopeng masuk ke rumah. Ayah menyalakan lampu. Para perampok itu kaget. Mereka langsung lari. Namun meraka dihadang oleh polisi yang bersembunyi di balik semak-semak.

Akhirnya mereka pun tertangkap basah. Waktu topeng mereka dibuka, ternyata mereka adalah Pak Radi, Bu Intan, dan kedua teman mereka. Semua tertunduk malu, tidak berkata apapun. Akhirnya mereka dibawa ke kantor polisi.

“Terima kasih atas kerja samanya, Pak. Kalau kami tidak diberitahu, mungkin perampok amatir ini akan merajarela,” kata Pak Polisi sambil merjabat tangan Ayah. “Sebenarnya, kalau tidak ada detektif cilik ini, semuanya tidak akan terbongkar,” kata Ayah sambil melirik ke arah Agus. “Tapi lain kali, kalau mau keluar malam, bilang dulu ya...” .  Mereka semua pun tertawa. :D



PERKENALAN

haloo...  sobat detektif...
Bagi kalian yang ingin tahu banyak hal mengenai Detektif, sering lah kalian meliat blog ini. blog ini berisi banyak cerita tentang bagaimana para detektif cilik memecahkan banyak kasus dari yang mudah sampai yang sulit. Para detektif cilik ini banyak mengalami petualangan yang seru, menyenangkan bahkan terkadang sampai menyeramkan... *hihihi.
Nah,,, bagaimana tertarik bukan ? jikalau kalian tertarik maka seringlah kalian meliat blog ini dan alangkah lebih baiknya jika kalian memberikan komentar baik berupa kritik ataupun saran di setiap cerita detektif yang ada, agar saya tahu dimana letak kekurangan dari cerita detektif tersebut. baiklah samapai disini dulu ya pengenalan mengenai blog "The Little Detective" ini, semoga kalian enjoy membacanya !
See you...