Kali ini jamuaan makan malam
diadakan di rumah Pak Dermawan, ayahku. Banyak orang penting yang hadir. Sejak pagi
ibu sibuk melakukan persiapan. Tak lupa ibu mengeluarkan kalung mutiara warisan
nenek dari brangkas. Kalung indah itu selalu ibu kenakan di hari istimewa. Para
undangan lain juga tak mau kalah. Tante Sastro selalu mengenakan bros
berliannya yang besar. Tante Ratna membanggakan cincin rubinya yang mahal.
Aku naik ke kamar Ibuku, untuk
minta izin pergi ke rumah Peter. Namun kamar Ibu kosong. Gaun malamnya
tergeletak rapi di tempat tidur. Kotak perhiasannya terbuka. Aku mengambil
kalung mutiara kesayangan Ibu. Sangat anggun. Ada 45 butir mutiara seluruhnya. Tiba-tiba
Doggie, anjing pudelku, menalak dan menyambar kalung itu. Astaga, untaiannya
terlepas!
“Doggie!” Buru-buru aku rebut. Aku
meronce kembali untaian kelung itu. Namun kurang satu butir! “Cepat, Doggie. Cari!”
Doggie mengendus berkeliling. Sayang, tidak berhasil kami temukan. Tepat saat
itu Ibu muncul. “Sedang apa?” tanya Ibu. “Ngg... , Bu, aku ke rumah Peter, ya?”
ucapku gagap. “Hmmm, sebaiknya kamu menyapa para tamu dulu,” jawab Ibu sambil
mengenakan kalungnya. Aku cepat-cepat keluar dari kamar. Semua tamu ku kenal,
kecuali Pak Fidel. Katanya dia asisten Om Robin si Ahli Permata. “Kamu manis
sekali, Anggi,” puji Pak Fidel ramah. Dia melirik jam dinding antik, hampir
menunjukkan pukul delapan. Saat itu Ibu menghampiriku.
“Apakah kalung Ibu asli ?” tanya Pak Fidel
tiba-tiba. “Oh, saya rasa..... maksud Bapak....., mutiara ini?” jawab Ibu
sedikit tersinggung. Ibu melepas kalungnya. Asisten Ahli Permata itu meneliti
dengan cermat. Dong... Dong... ! Bunyi jam dinding antik menyentak delapan
kali. Bu Sastro terlonjak, “Jam itu selalu bikin kita kaget.
”
“Saya rasa ini palsu,” guman Pak
Fidel. Ia mengeluarkan alat dan menunjukkan pada Ibu. Tamu lain terperangah. Ibu
tampak kaget dan malu. “Simpanlah,” bisik Ayah padaku, lalu mengajak para tamu
untuk ke ruang makan. Aku termenung. Apakah selama ini Ibu tidak tahu? Enam bulan
lalu, kalung Ibu dibersihkan di toko Om Robin. Jangan-jangan si Ahli Permata
itu menukarnya. Aku duduk di samping Ayah. Makanan yang terhidang sangat lezat.
Kasihan Ibu, ia tidak menikmatinya. Pak Fadel diapit Tante Mira dan Tante
Ratna. Tante Mira memajukan tangan kanannya, “Apakah jambrut ibi asli?” tanya
Tante Mira. “Mmh.....” Pak Fidel meraba cincin itu dan mengarahkannya ke cahaya,
“Ya, saya yakin ini asli.” Tante Mira sangat lega. Pak Fidel melihat arloji. Aku
memperhatikan. Kurasa dia sedikit gelisah. Akupun menatap arlojiku, hampir
pukul sembilan. “Bukankah cincin anda baru-baru ini diperbaiki? Saya pernah
melihatnya,” ujar Pak Fidel pada Tante Ratna. “Ya, di toko Pak Robin,” jawab
Tante Ratna. “Rubi yang indah. Sayang sekali.....” Pak Fidel manatap, “Boleh
saya lihat?” Tante Ratna melepas cincinnya. “Tiruan yang hebat!” ujar Pak
Fidel. “Apa?” ujar Tante Ratna heran.
Dong... Dong...! Suara jam
berdetang sembilan kali. Pak Fidel kaget sampai menjatuhkan cincin itu. Dia membungkuk
mencari, “Ah, ini dia.” Diambilnya alat dari saku lalu mengetes ke batu rubi. “Lihat,
ini palsu.” Ujar Pak Fidel. Tante Ratna menjerit, “Ini tidak mungkin. Pasti ditukar
di toko itu.” Para tamu ribut. Semua berpikir Om Robin melakukan menipuan. Benarkah?
Telah lima tahun Ibu menjadi pelanggan Om Robin yang jujur. Rasanya tidak
mungkin bila ia merusak kepercayaan itu. Tanpa sadar aku mengitari butir-butir
mutiara kalung Ibu dengan jariku sambil menghitung. Aku berhenti. Kuulangi lagi.
Empat puluh lima butir! Tidak mungkin! Bukankah tadi hilang sebutir? Aku segera
mengajak Doggie kembali ke kamar Ibu.
“Doggie, ayo cari.” Aku menyibak
gorden, mencari di bawah keset kaki, karpet, kolonh lemari. Sebutir mutiara
yang hilang adalah bukti penting untuk membela Om Robin. “Guk!” Doggie mengibaskan
ekornya, kakinya mengais-ngais meja telepon. Banar, ada sebutir mutiara di
sana. Aku menelepon Om Robin. Awalnya, Ayah menolak. Setelah kudesak dengan
bukti-bukti, akhirnya Ayah meminta Pak Fidel mengeluarkan isi sakunya.
“Saya mencuri? Ini penghinaan,
Pak Dermawan!” tolaknya dengan marah. Aku bercerita tentang sebutir mutiara Ibu
yang kuhilangkan. Setelah dinyatakan palsu, jumlah mutiaranya malah menjadi
empat puluh lima. Seharusnya hanya ada empat puluh empar. Artinya, Pak Fidel
telah menukarnya. “Apa aku begitu bodoh menukarnya di depan banyak orang? Huh!”
ujar Pak Fider. “Aku melihat Pak Fidel selalu melihat jam. Pada saat yang tepat
untuk mengalihkan perhatiaan tamu adalah saat jam berdetak keras. Cincin Tante Ratna
pun ditukar tepat jam sembilan,” kataku.
“Tuduhan hebat. Lalu jambrut Bu
Mira kau pikir kucuri juga, hah!” tanya Pak Fidel. Aku menggeleng. “Tidak, itu
asli. Pak Fidel tidak menukarnya karena tidak mempunyai tiruannya. Saya telah
mendapat keterangan dari Om Robin yang sedang sakit. Pak Fidel memang asisten
Om Robin selam enam bulan ini. Tapi tadi pagi anda telah dipecat. Selam enam
bulan anda punya kesempatan untuk membuat tiruan perhiasan pelanggan. Saya rasa
tiruan bros Tante Sastro juga telah anda siapkan...” uraiku penuh kemenangan.
Pak Fidel tidak berkutik
sedikitpun saat benda-benda yang kusebutkan dijumpai di sakunya. Para tamu
memuji aku dan Doggie. Herannya, sejak kejadian malam itu. Jamuan makan malam
terlihat lebih sederhana, tanpa adanya perhiasan.
0 komentar:
Posting Komentar