Minggu, 14 Oktober 2012

Misteri Mutiara Palsu


      Kali ini jamuaan makan malam diadakan di rumah Pak Dermawan, ayahku. Banyak orang penting yang hadir. Sejak pagi ibu sibuk melakukan persiapan. Tak lupa ibu mengeluarkan kalung mutiara warisan nenek dari brangkas. Kalung indah itu selalu ibu kenakan di hari istimewa. Para undangan lain juga tak mau kalah. Tante Sastro selalu mengenakan bros berliannya yang besar. Tante Ratna membanggakan cincin rubinya yang mahal.

Aku naik ke kamar Ibuku, untuk minta izin pergi ke rumah Peter. Namun kamar Ibu kosong. Gaun malamnya tergeletak rapi di tempat tidur. Kotak perhiasannya terbuka. Aku mengambil kalung mutiara kesayangan Ibu. Sangat anggun. Ada 45 butir mutiara seluruhnya. Tiba-tiba Doggie, anjing pudelku, menalak dan menyambar kalung itu. Astaga, untaiannya terlepas!

“Doggie!” Buru-buru aku rebut. Aku meronce kembali untaian kelung itu. Namun kurang satu butir! “Cepat, Doggie. Cari!” Doggie mengendus berkeliling. Sayang, tidak berhasil kami temukan. Tepat saat itu Ibu muncul. “Sedang apa?” tanya Ibu. “Ngg... , Bu, aku ke rumah Peter, ya?” ucapku gagap. “Hmmm, sebaiknya kamu menyapa para tamu dulu,” jawab Ibu sambil mengenakan kalungnya. Aku cepat-cepat keluar dari kamar. Semua tamu ku kenal, kecuali Pak Fidel. Katanya dia asisten Om Robin si Ahli Permata. “Kamu manis sekali, Anggi,” puji Pak Fidel ramah. Dia melirik jam dinding antik, hampir menunjukkan pukul delapan. Saat itu Ibu menghampiriku.

 “Apakah kalung Ibu asli ?” tanya Pak Fidel tiba-tiba. “Oh, saya rasa..... maksud Bapak....., mutiara ini?” jawab Ibu sedikit tersinggung. Ibu melepas kalungnya. Asisten Ahli Permata itu meneliti dengan cermat. Dong... Dong... ! Bunyi jam dinding antik menyentak delapan kali. Bu Sastro terlonjak, “Jam itu selalu bikin kita kaget.
“Saya rasa ini palsu,” guman Pak Fidel. Ia mengeluarkan alat dan menunjukkan pada Ibu. Tamu lain terperangah. Ibu tampak kaget dan malu. “Simpanlah,” bisik Ayah padaku, lalu mengajak para tamu untuk ke ruang makan. Aku termenung. Apakah selama ini Ibu tidak tahu? Enam bulan lalu, kalung Ibu dibersihkan di toko Om Robin. Jangan-jangan si Ahli Permata itu menukarnya. Aku duduk di samping Ayah. Makanan yang terhidang sangat lezat. Kasihan Ibu, ia tidak menikmatinya. Pak Fadel diapit Tante Mira dan Tante Ratna. Tante Mira memajukan tangan kanannya, “Apakah jambrut ibi asli?” tanya Tante Mira. “Mmh.....” Pak Fidel meraba cincin itu dan mengarahkannya ke cahaya, “Ya, saya yakin ini asli.” Tante Mira sangat lega. Pak Fidel melihat arloji. Aku memperhatikan. Kurasa dia sedikit gelisah. Akupun menatap arlojiku, hampir pukul sembilan. “Bukankah cincin anda baru-baru ini diperbaiki? Saya pernah melihatnya,” ujar Pak Fidel pada Tante Ratna. “Ya, di toko Pak Robin,” jawab Tante Ratna. “Rubi yang indah. Sayang sekali.....” Pak Fidel manatap, “Boleh saya lihat?” Tante Ratna melepas cincinnya. “Tiruan yang hebat!” ujar Pak Fidel. “Apa?” ujar Tante Ratna heran.

Dong... Dong...! Suara jam berdetang sembilan kali. Pak Fidel kaget sampai menjatuhkan cincin itu. Dia membungkuk mencari, “Ah, ini dia.” Diambilnya alat dari saku lalu mengetes ke batu rubi. “Lihat, ini palsu.” Ujar Pak Fidel. Tante Ratna menjerit, “Ini tidak mungkin. Pasti ditukar di toko itu.” Para tamu ribut. Semua berpikir Om Robin melakukan menipuan. Benarkah? Telah lima tahun Ibu menjadi pelanggan Om Robin yang jujur. Rasanya tidak mungkin bila ia merusak kepercayaan itu. Tanpa sadar aku mengitari butir-butir mutiara kalung Ibu dengan jariku sambil menghitung. Aku berhenti. Kuulangi lagi. Empat puluh lima butir! Tidak mungkin! Bukankah tadi hilang sebutir? Aku segera mengajak Doggie kembali ke kamar Ibu.

“Doggie, ayo cari.” Aku menyibak gorden, mencari di bawah keset kaki, karpet, kolonh lemari. Sebutir mutiara yang hilang adalah bukti penting untuk membela Om Robin. “Guk!” Doggie mengibaskan ekornya, kakinya mengais-ngais meja telepon. Banar, ada sebutir mutiara di sana. Aku menelepon Om Robin. Awalnya, Ayah menolak. Setelah kudesak dengan bukti-bukti, akhirnya Ayah meminta Pak Fidel mengeluarkan isi sakunya.

“Saya mencuri? Ini penghinaan, Pak Dermawan!” tolaknya dengan marah. Aku bercerita tentang sebutir mutiara Ibu yang kuhilangkan. Setelah dinyatakan palsu, jumlah mutiaranya malah menjadi empat puluh lima. Seharusnya hanya ada empat puluh empar. Artinya, Pak Fidel telah menukarnya. “Apa aku begitu bodoh menukarnya di depan banyak orang? Huh!” ujar Pak Fider. “Aku melihat Pak Fidel selalu melihat jam. Pada saat yang tepat untuk mengalihkan perhatiaan tamu adalah saat jam berdetak keras. Cincin Tante Ratna pun ditukar tepat jam sembilan,” kataku.

“Tuduhan hebat. Lalu jambrut Bu Mira kau pikir kucuri juga, hah!” tanya Pak Fidel. Aku menggeleng. “Tidak, itu asli. Pak Fidel tidak menukarnya karena tidak mempunyai tiruannya. Saya telah mendapat keterangan dari Om Robin yang sedang sakit. Pak Fidel memang asisten Om Robin selam enam bulan ini. Tapi tadi pagi anda telah dipecat. Selam enam bulan anda punya kesempatan untuk membuat tiruan perhiasan pelanggan. Saya rasa tiruan bros Tante Sastro juga telah anda siapkan...” uraiku penuh kemenangan.

Pak Fidel tidak berkutik sedikitpun saat benda-benda yang kusebutkan dijumpai di sakunya. Para tamu memuji aku dan Doggie. Herannya, sejak kejadian malam itu. Jamuan makan malam terlihat lebih sederhana, tanpa adanya perhiasan.

0 komentar:

Posting Komentar